Rabu, 28 November 2012

Kekerasan Terhadap Anak


Bab I
Pendahuluan
1.  Latar belakang
Beberapa tahun terakhir ini kita di kejutkan oleh pemberitaam media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus menghembuskan napasnya yang terakhir.
Anak sering kali menjadi korban kekerasan. Baik itu di sekolah, di tempat mereka bermain, bahkan di dalam lingkungan keluarga mereka sendiri, yang seharusnya menjadi tempat mereka untuk berlindung.
Kekerasan yang di alami anak beragam, ada kekerasan secara fisik dan secara psikis. Baik kekerasan secara fisik ataupun secara psikis, kekerasan tersebut sangatlah berdampak buruk bagi perkembangan anak, terutama perkembangan psikilogisnya.
Kenakalan anak adalah hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orangtua, sehingga anak menerima hukuman dan bila di sertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bahkan tidak jarang orangtua berkata kasar terhadap anaknya.
2.  Perumusan Masalah
Jika hal itu terus di lakukan oleh orangtua maka akan terjadi dampak yang sangat buruk yang akan di alami oleh anak mereka, terutama psikologisnya. Harus ada tindakan yang benar untuk menghadapi kenakalan anak. Memberi hukuman bahkan menggunakan kekerasan bukanlah tindakan yang benar untuk membuat anak menjadi jera, tindakan tersebut malah akan memperburuk tingkah laku anak tersebut.
Anak bagaikan kertas kosong yang siap di tulis, jika kita menulis sesuatu yang tidak baik maka kertas itu menjadi tidak baik, namun jika kita menulis sesuatu yang baik maka kertas tersebut menjadi baik. Sama halnya dengan anak, jika anak kita didik dengan baik maka anak tersebut maka menjadi baik, namun jika kita tidak mendidik dengan baik anak itu akan menjadi tidak baik. Jadi perlakukanlah anak sebaik mungkin, sebagaimana tugas orangtua sebagai pelindung dan pembimbing anak.
3.  Tujuan
  • Mengetahui faktor penyebab kekerasan anak.
  • Mengetahui efek yang di alami anak korban kekerasan.
  • Dapat menghentikan kebiasan buruk menerapkan kekerasan terhadap anak.
  • Mengetahui upaya yang dapat di lakukan untuk menurunkan tingkat kekerasan terhadap anak.
  • Mengetahui dampak kekerasan bagi keluarga, lingkungan sekitar, dan anak itu sendiri.
Bab II
Pembahasan
1.  Pengertian Kekerasan
Kekerasan, sebagai salah satu bentuk agresi, memiliki definisi yang beragam. Salah satu definisi yang paling sederhana adalah segala tindakan yang cenderung menyakiti orang lain, berbentuk agresi fisik, agresi verbal, kemarahan atau permusuhan. Masing-masing bentuk kekerasan memiliki faktor pemicu dan konsekuensi yang berbeda-beda. Penganiayaan anak atau kekerasan pada anak atau perlakuan salah terhadap anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse, yaitu perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung pada seorang anak secara fisik, dan emosional.
Kekerasan anak meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. UNICEF mendefinisikan bahwa kekerasan terhadap anak adalah “Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan”. Terdapat banyak teori berkaitan dengan kekerasan pada anak, di antaranya teori yang berkaitan dengan stres di dalam keluarga. Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orangtua, atau situsional. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan fisik, mental, atau perilaku beda, anak usia balita, serta anak dengan penyakit menahun. Stres berasal dari orangtua misalnya orangtua dengan gangguan jiwa, orangtua korban kekerasan pada masa lalu, orangtua memiliki harapan pada anak terlampau tinggi, dan orangtua dengan disiplin tinggi.
Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.  Jika kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan anak yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap anak. Namun, orang tua menyikapi hal tersebut adalah proses mendidik anak, padahal itu adalah salah satu tindak kekerasan terhadap anak. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas Perlindungan Anak (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya. Bayangkan bagaimana seorang anak menjadi sangat membenci dan tidak bersimpatik terhadap dunia disekitarnya, khususnya pihak yang memberikan perilaku kekerasan padanya. Bila yang melakukan itu adalah kedua orang tuanya, maka jelas anak tersebut bisa menjadi sosok yang sangat menentang bahkan melawan orang tuanya.
Rasa sakit hati yang disimpan oleh anak ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan psikologis anak. Meski kondisi lingkungan, pendidikan dan pergaulan juga sangat berpengaruh.
Beberapa hal yang mungkin terjadi :
  1. Anak menjadi penakut dan sulit mengambil keputusan.
  2. Anak menjauhkan diri dari pergaulan dengan teman sebaya.
  3. Anak menjadi agresif.
  4. Anak suka mencederai atau menyakiti orang lain.
  5. Anak melakukan penyimpangan seksual.
  6. Anak menjadi pengguna markoba.
  7. Anak depresi dan bahkan ingin bunuh diri.
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Sudah tentu dalam proses belajar, anak cenderung melakukan kesalahan. Namun, dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun, orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
Kekerasan anak dapat terjadi dimana saja, dan oleh siapa saja. Di rumah kekerasan biasanya di lakukan oleh orangtua, kakak, dan pembantu. Sedangkan di lingkungan sekolah kekerasan tersbut dapat di lakukan oleh guru, teman-teman, dan kakak kelasnya. Dan juga di di lingkungan tempat dia bermain kekerasan juga dapat terjadi.
2.  Pemicu Kekerasan Anak
Pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah :
  1. Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi ini kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua.
  2. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
  3. Faktor ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi.
  4. Anak memiliki cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki tempramental lemah, ketidak tahuan anak terhadap hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa.
  5. Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu atau ayah dalam jangka panjang.
  6. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis terhadap anak, anak lahir di luar nikah.
  7. Penyakit gangguan mental pada salah satu orangtua.
  8. Orangtua yang dulu sering di telantarkan atau mendapatkan perlakuan kekerasan , sering memperlakukan anaknya dengan perlakuan yang sama.
Kekerasan terhadap anak terbagi atas kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan penelantaran. Namun kekerasan yang satu dengan yang lain saling berhubungan. Jika anak menderita kekerasan fisik, pada saat bersamaan anak juga menderita kekerasan emosional. Sementara jika anak mengalami kekerasan seksual, selain menderita kekerasan emosional, anak juga akan mengalami penelantaran.
3.  Ciri-ciri Anak Korban Kekerasan
Secara umum, anak yang mengalami kekerasan adalah sebagai berikut:
  • Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar.
  • Tidak memperoleh batuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang seharusnya menjadi perhatian orangtua.
  • Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi.
  • Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain.
  • Kurangnya pengarahan dari orangtua.
  • Selalu mengeluh, pasif atau menghindar.
  • Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir, bahkan sering tidak mau pulang ke rumah.
 4.  Ciri-ciri Orangtua Pelaku Kekerasan Terhadap Anak
Sedangkan ciri-ciri umum orangtua yang melakukan kekerasan pada anak adalah :
  • Tak ada perhatian pada anak.
  • Menyangkal adanya masalah pada anak di rumah dan di sekolah, dan menyalahkan anak pada setiap masalah.
  • Meminta guru untuk memberi hukuman berat dan menerapkan disiplin pada anak.
  • Menganggap anak sebagai anak yang bandel, tak berharga, dan susah diatur.
  • Menuntut kemampuan fisik dan akademik anak, tidak sebanding dengan kemampuan yang ada.
  • Hanya memperlakukan anak pemenuhan kepuasaan akan kebutuhan emosional untuk mendapatkan perhatian dan perawatan.
 5.  Hubungan Orangtua dan Anak dalam Lingkungan Kekerasan
Ciri-ciri umum hubungan orangtua dan anak yang menjadi pelaku dan korban kekerasan :
- Jarang bersentuhan fisik dan bertatap mata.
- Hubungan diantaranya sangat negatif.
- Pernyataan bahwa keduanya tak suka atau membenci satu sama lain.
 6.  Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak
  1. Kekerasan Fisik : dianiaya, dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dll.
  2. Kekerasan Psikis : dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dll.
  3. Kekerasan Seksual : diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang dan pelecehan seksual lainnya.
  4. Penelantaran : Kurang  memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak,tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara, dll.
4.1      Penelantaran Anak
Penyiksaan terhadap anak tidak terbatas pada perilaku agresif seperti memukul, membentak-bentak, menghukum secara fisik dan sebagainya, namun sikap orang tua yang mengabaikan anak-anaknya juga tergolong bentuk penyiksaan secara pasif. Pengabaian dapat diartikan sebagai ketiadaan perhatian baik sosial, emosional dan fisik yang memadai, yang sudah selayaknya diterima oleh sang anak. Pengabaian ini dapat berbentuk :
  • Kurang  memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak.
  • Tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan.
  • Mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara.
  • Membeda-bedakan kasih sayang dan perhatian antara anak-anaknya.
  • Dipisahkan dari orang tua, jika tidak ada pengganti yang stabil dan memuaskan.
Dampak penyiksaan dan pengabaian terhadap beberapa aspek kehidupan anak menurut berbagai lembaga penanganan terhadap anak-anak yang mendapat perlakuan negatif dari orang tua, ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dampak atau efek dari penyiksaan atau pengabaian terhadap kehidupan sang anak. Faktor-faktor tersebut adalah :
  1. Jenis perlakuan yang dialami oleh sang anak.
  2. Seberapa parah perlakuan tersebut dialami.
  3. Sudah berapa lama perlakuan tersebut berlangsung.
  4. Usia anak dan daya tahan psikologis anak dalam menghadapi tekanan.
  5. Apakah dalam situasi normal sang anak tetap memperoleh perlakuan atau pengasuhan  yang wajar.
  6. Apakah ada orang lain atau anggota keluarga lain yang dapat mencintai, mengasihi, memperhatikan dan dapat diandalkan oleh sang anak
Sementara itu penyiksaan dan atau pengabaian yang dialami oleh anak dapat menimbulkan permasalahan di berbagai segi kehidupannya seperti:
v  Masalah Relational
v  Masalah Emosional
v  Masalah Kognisi
v  Masalah Perilaku
v  Masalah Relational
1. Masalah Relational
  1. Kesulitan menjalin dan membina hubungan atau pun persahabatan.
  2. Merasa kesepian.
  3. Kesulitan dalam membentuk hubungan yang harmonis.
  4. Sulit mempercayai diri sendiri dan orang lain.
  5. Menjalin hubungan yang tidak sehat, misalnya terlalu tergantung atau terlalu mandiri.
  6. Sulit membagi perhatian antara mengurus diri sendiri dengan mengurus orang lain.
  7. Mudah curiga, terlalu berhati-hati terhadap orang lain.
  8. Perilakunya tidak spontan.
  9. Kesulitan menyesuaikan diri.
  10. Lebih suka menyendiri dari pada bermain dengan kawan-kawannya.
  11. Suka memusuhi orang lain atau dimusuhi.
  12. Lebih suka menyendiri.
  13. Merasa takut menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain.
  14. Sulit membuat komitmen.
  15. Terlalu bertanggung jawab atau justru menghindar dari tanggung jawab.
2. Masalah Emosional
  1. Merasa bersalah.
  2. Malu.
  3. Menyimpan perasaan dendam.
3. Depresi
  1. Merasa takut ketularan gangguan mental yang dialami orang tua
  2. Merasa takut masalah dirinya ketahuan kawannya yang lain
  3. Tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif
  4. Merasa bingung dengan identitasnya
  5. Tidak mampu menghadapi kehidupan dengan segala masalahnya
4. Masalah Kognisi
  1. Punya persepsi yang negatif terhadap kehidupan.
  2. Timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri.
  3. Memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri.
  4. Sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi di sekolah.
  5. Memiliki citra diri yang negatif.
5. Masalah Perilaku
  1. Muncul perilaku berbohong, mencuri, bolos sekolah.
  2. Perbuatan kriminal atau kenakalan.
  3. Tidak mengurus diri sendiri dengan baik.
  4. Menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak wajar, dibuat-buat untuk mencari perhatian.
  5. Muncul keluhan sulit tidur.
  6. Muncul perilaku seksual yang tidak wajar.
  7. Kecanduan obat bius, minuman keras, dsb.
  8. Muncul perilaku makan yang tidak normal, seperti anorexia atau bulimia.
 7.   Dampak Kekerasan Anak
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis, ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri, ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan berdasarkan masing-masing bentuk kekerasan terhadap anak, antara lain :
1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk, seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991).
4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,  Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
8.  Upaya Mengatasi Masalah Kekerasan Terhadap Anak
Jika kekerasan terhadap anak terus di terapkan, maka anak-anak akan terbiasa dengan polo hidup kekerasan, mereka akan menerapkan tindakan kekerasan dalam masyarakat, sehingga bisa jadi makin banyak terjadinya kerusuhan, keributan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kekerasan. Oleh sebab itu harus ada upaya untuk menghapuskan pola kekerasan ini.
Upaya perlindungan yang dapat dilakukan berkaitan dengan kekerasan anak ini dapat dilakukan dengan pendekatan kesehatan pada masyarakat, yaitu melalui usaha promotif, preventif, diagnosis, kuratif, dan rehabilitatif. Dua usaha yang pertama ditujukan kepada anak yang belum menjadi korban kekerasan, melalui kegiatan pedidikan masyarakat dengan tujuan menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan pada anak merupakan penyakit masyarakat yang akan menghambat tumbuh kembang anak secara optimal, oleh karena itu harus di hapuskan. Sedangkan dua usaha yang terakhir tujukan bagi anak yang sudah menjadi korban kekerasan, dengan tujuan memberikan pengobatan baik secara fisik dan psikologis anak, dengan tujuan meng-reintegrasi korban ke dalam lingkungan semula. Upaya menurunkan tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh orangtua, guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah.
Pertama, orangtua. Para orangtua seharusnya lebih memperhatika kehidupan anaknya. Orangtua di tuntut untuk mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam kekangan mental maupun fisik. Sikap memarah-marahi anak habis-habisan, apalagi melakukan tindakan kekerasan bukanlah tidakan yang bijaksana sebagai orangtua, karena hal itu hanya membuat anak merasa tidak di perhatikan dan tidak di sayangi. Akhirnya anak merasa trama, dan bahkan putus asa. Sangat penting untuk disadari bahwa anak di lahirkan ke dunia ini memiliki hak untuk medapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak juga memiliki hak mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga mendapatkan nafkah. Bagaimanapun juga, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan hak-haknya sebagai anak, karena harus membanting untuk menghidupi diri atau bahkan untuk keluarganya. Dalam kasus kekerasan terhadap anak ini, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami kekerasan orangtuanya, akan melakukan hal yang sama pada anaknya kelak. Oleh karena itu penting untuk disadari bahwa perilaku mereka merupakan hal yang dapat ditiru oleh anak-anak mereka, sehingga mereka mampu menghidari perilaku yang kurang baik.
Kedua, guru. Peran seorang guru di tuntut untuk menyadari bahwa pendidikan bukan saja membuat anak menjadi pintar, tetepi juga harus melatih sikap, dan mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami siswanya sangat penting. Sikap arif, bijaksana dan toleransi sangat di perlukan, sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijaksana dalam mehadapi anak didiknya.
Ketiga, masyarakat. Anak-anak kita ini selain berhadapan dengan orangtua dan guru, mereka tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerja sama dari berbagai elemen dalam masyarakat untuk turu memberikan nuansa pendidikan yang positif bagi anak-anak. Salah satu elemen tersebut adalah stasiun TV., karena pengaruh media terhadap perilaku anak cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di TV , tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang dapat mempengaruhi mental dan kepribadian anak. Penyelengara TV bertanggung jawab untuk memberikan tayangan yang mengandung edukasi yang positif.
Keempat, pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap permasalahan rakyatnya, termasuk untuk menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus.
Bab III
Kesimpulan dan Saran
Upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak menjadi kewajiban pemerintah, yang di dukung oleh keluarga dan masyarakat. Masyarakat ternyata belom sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Anak harus mendapatkan bimbingan, dan perlindungan yang baik, sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Kita sadari bahwa kekerasan telah menghancurkan masa depan anak.

Sumber :

Perkembangan Psikologi Anak Korban Broken Home


Jurnal Analisis
Perkembangan Psikologi Anak Korban Broken Home
Bab I
Pendahuluan
1.1  latar belakang
Rasio tingkat perceraian setiap hari semakin meningkat, hal ini bisa di akibatkan dari masalah internal maupun eksternal dari kedua pihak tersebut. Perceraian adalah keputusan yang disepakati bersama demi kebaikan dari kedua pihak, tanpa melihat bahwa yang akan menjadi korban dari sebuah perceraian adalah anak mereka. Kesepatan yang mereka ambil menimbulkan efek yang sangat fatal bagi psikologis anak tersebut.
Anak yang terbiasa hidup dengan kedua orang tuanya, pasti akan merasa sangat kehilangan dengan adanya perceraian yang menimpakeluarganya, namun berbeda anak yang mengalaminya saat mereka belum  mengerti apa arti dari sebuah perceraian, dan biasanya orang tua mereka akan menutupi apa yang terjadi dengan keadaan sesungguhnya.
Pada umur yang relatif labil yaitu, (+/-) 15 – 19 Tahun, pada masa remaja sampai dewasa inilah yang berbahaya dan bisa mempengaruhi psikologis anak, karena tidak menutup kemungkinan pada masa ini akan timbul pengaruh positif maupun pengaruh negatif yang terjadi pada anak tersebut, hal ini tergantung dari antisipasi yang akan di ambil oleh orang tua, dimana ia harus lebih memberi perhatian dan pengertian secara perlahan terhadap anak.
1.2  Perumusan masalah
Antisipasi orang tua yang tidak terkoordinasi dengan benar akan mempengaruhi psikologi anak yang akan merugikan dan menimbulkan perilaku yang menyimpang, sehingga banyak anak yang terpengaruh obat – obatan terlarang dan perilaku negatif lainnya, karena menurut mereka perceraian itu adalah hal yang sangat menghancurkan, dan bagi anak yang sedang mengalami tingkat kesedihan yang tinggi, akan lebih mudah mendapatkan pengaruh – pengaruh dari luar, semua ini tergantung dari psikologi anak yang berbeda, dan tergantung antisipasi apa yang di berikan oleh orang tuanya agar psikologi anak tetap dalam kondisi yang stabil, dan dapat memahami kondisi meskipun  kenyataannya anak tidak mudah menerima sebuah perpisahan orang yang mereka sayangi.
Antisipasi orang tua yang tepat dan memberikan nilai – nilai positif terhadap anaknya, akan memberikan pengaruh baik bahkan spirit kepada anaknya yang bisa membuat anak berfikir bahwa perceraian itu sangat menyakitkan dan ketika dewasa nanti anak ini tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Dan biasanya dari spirit yang berlebih ini akan membuat si anak  menjadi sukses dalam segala hal.
Maka dari itu berikan antisipasi yang tepat terhadap anak secara perlahan apabila perceraian yang akan di ambil dapat mempengaruhi psikologi anak.
1.3 Tujuan 
  • Mengenali psikologi anak
  • Mengenali semua pengaruh yang di timbulkan terhadap anak
  • Mengendalikan pola perilaku anak
  • Memberikan perhatian dan pelajaran yang baik
  • Memperbaiki psikologi anak yang terlanjur terpengaruh sisi negatif
1.4 Manfaat
Manfaat dari pentingnya mengenali psikologi anak, kita bisa membedakan sikap normal anak pada umumnya dan membedakan sikap psikologis anak yang telah tepengaruh akibat perceraian. Dan dari sinilah kita bisa membedakan pengaruh positif atau negative yang akan terjadi pada anak. Lalu kita bisa mengendalikan pola prilaku anak dengan memberikan perhatian dan pelajaran yang baik agar psikologi anak bisa kita normalkan kembali dengan kegiatan yang positif dan tidak merugikannya kelak.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
1. Pengertian dan Keadaan Keluarga Broken Home
Tak luput dari kenyataan yang ada bahwa semakin hari semakin banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan oleh perselingkuhan, perbedaan prinsip hidup, atau sebab - sebab lainya yang bisa disebabkan oleh masalah internal maupun eksternal dari kedua belah pihak. Akan tetapi, yang jelas kasus - kasus broken home itu sama halnya dengan kasus - kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral. Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami - istri dalam keluarga broken home telah semakin memburuk. Kedekatan fisikal juga menjadi alasan bagi pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home, meskipun dalam beberapa sumber disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak mempengaruhi kedekatan personal antar individu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini, berbagai faktor psikologis termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat perhatian utama.
Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini seringkali menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Oleh sebab itu sangatlah penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling suka diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini, kematangan kepribadianlah yang menentukan penerimaan peran dari pasangan komunikasinya. Setiap individu dilahirkan dengan tipe kepribadian yang berbeda-beda oleh sebab itu saling pengertian antarpasangan juga sangatlah penting.
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri pasangannya. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian afektif (Affective Disregard). Dalam hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif antara satu pasangan dengan pasangannya.
Dari semua fenomena di atas, akan bisa berdampak pada perkembangan psikologis anak dalam keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja, seperti yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Pengaruh faktor broken home keluarga menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian dari orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak, sehingga mereka mungkin mengalami schizoid atau bisa berdampak hingga schizophrenia.
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga merupakan wadah pertama dan utama bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga juga yang akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.
Namun, melihat kondisi masyarakat saat ini, fungsi keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua anggota keluarga khususnya orangtua menjadi sibuk dengan aktivitas pekerjaannya dengan alasan untuk menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya, karena seringkali ayah zaman sekarang bekerja di luar kota dan hanya pulang satu minggu sekali ataupun pergi pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah dalam mendidik serta mengatur seluruh kepentingan anggota keluarganya.
Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi seorang wanita pekerja dengan berdalih membantu perekonomian keluarga ataupun berambisi menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak ditemukan ibu menjadi seorang super woman yang bekerja dua puluh empat jam sehari tanpa henti, barangkali waktu istirahat ibu hanyalah beberapa jam dalam sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja di luar rumah dan bekerja di rumah tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.
Kecenderungan yang terjadi, keluarga menjadi pecah dan tidak jelas keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik, karena kesibukan masing-masing atau karena egonya, maka mereka memilih untuk bercerai. Namun, di saat orangtua dapat mempertahankan keluarganya secara utuh tanpa ada komunikasi yang hangat antara anggota keluarganya, secara psikologis merekapun bercerai.
Oleh karena orangtua tidak punya waktu banyak untuk berdialog, berdiskusi atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Saat orangtua pulang bekerja, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak terbangun tidak jarang orangtua sudah pergi bekerja atau anaknya yang harus pergi ke sekolah. Ketika anak protes dan mengeluh, orangtua hanya cukup memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan keluarga juga. Orangtua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orangtualah yang selalu membuat anak harus mengerti keadaan orangtuanya.
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orangtua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak dari orangtuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orangtuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orangtuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman, kecupan, dan senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu anak dalam menguasai emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma adat atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin, diharapkan anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik, khususnya saat anak mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma tersebut, sudah merupakan kewajiban orangtua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan perkembangan usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan kesibukan orangtua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.
Solusi terbaik untuk anak-anak tersebut bukanlah psikolog, guru dan ulama, melainkan orangtua yaitu ayah dan ibunya di rumah yang dapat berperan dan berfungsi selayaknya orang tua. Anak-anak tidak akan berbicara secara verbal mengenai kebutuhan dan keinginan hati kecilnya, tetapi mereka akan berbicara dalam bentuk perilaku yang diperlihatkannya dalam keseharian. Alangkah bahagia dan senangnya anak-anak, jika orangtua dapat mengerti dan memahami fungsi dan peran orang tua sebagaimana mestinya. Andai saja orangtua dapat mengurangi keegoisannya dan menyisihkan waktu memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya, maka anak akan menjadi generasi yang berintelektual tinggi dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan harapan dan cita-cita orangtuanya.
2. Ciri-Ciri Psikologis Keluarga Broken Home
Berdasarkan beberapa asumsi dalam literatur, penulis menemukan bahwa keluarga broken home bukan hanya keluarga dengan kasus perceraian saja. Keluarga broken home secara keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah dan ibu sebagai orangtua tidak berjalan baik secara fungsional. Fungsi orangtua pada dasarnya adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai baik-buruk, sebagai motivator primer bagi anak, sebagai tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang, dan sebagainya. Jikalau fungsi orangtua ini terhambat, maka aspek-aspek khusus dalam keluarga bisa dimungkinkan tak terjadi.
Pada hakikatnya, anak membutuhkan orangtuanya untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Pada masa remaja, berdasarkan asumsi Erickson, remaja memerlukan figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figure sample dalam internalisasi nilai-nilai remajanya. Dengan tidak berfungsinya peran orangtua sebagaimana mestinya, maka hal in bisa terhambat. Proses pencarian identitas dalam kondisi serupa ini bisa jadi meriam bagi remaja itu. Remaja itu dimungkinkan membentuk kerpibadian yang kurang sehat dengan perasaan terisolasi. Proses pencarian identitas akan terhambat dan menimbulkan rasa kebingungan identitas (confused of Identity). Penambahan juga, remaja itu mungkin bisa mengembangkan perilaku yang delinquency, atau bahkan patologis, jika keadaan keluarga yang broken home itu dirasakannya sangat menekan dirinya.  Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yeri Abdillah (2003) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa agresivitas pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih tinggi daripada rekannya yang tidak mengalami kasus broken home.
Masih banyak kasus lagi yang mungkin dirasakan anak dalam keluarga broken home. Efeknya akan lebih terasa jika anak berada dalam masa remaja. Masa remaja dalam psikologi diasumsikan sebagai masa yang penuh dengan strom and stress. Jikalau dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa memperburuk keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan sebagai tekanan yang bisa menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.
Munculnya masalah broken home menimbulkan suatu perasaan menyesal pada remaja, dan melakukan identifikasi ulang. Ketiadaannya dukungan sosial menyebabkan kurangnya alternatif masukan bagi remaja itu untuk melakukan reidentifikasinya. Orangtua yang semulanya menjadi teladan, akan dianggap sebagai pembawa petaka baginya. Dari asumsi ini muncullah rasa ketidakpercayaan pada diri remaja itu. Munculnya rasa ketidakpercayaan ini menyebabkan cinta kepada orangtuanya semakin menipis atau berkurang. Kelekatan dengan orangtua semakin kecil, sehingga asumsi-asumsi negatif kepada orangtua mulai muncul. Dari asumsi itu muncullah asumsi bahwa orangtuanya sudah tidak menyayanginya lagi. Perkuatan muncul apabila tidak adanya perhatian secara fisikal yang ditujukan pada remaja itu.
Pemaknaan cinta orangtua akan semakin mengarah pada negativitas seiring dengan munculnya beberapa hal berikut ini:
  1.  Ketiadaan perhatian fisikal yang dirasakan oleh remaja dalam keluarga broken home
  2.  Konfliks antara orangtuanya dirasakan semakin mengarah pada egoisme ayah-ibunya tanpa mempertimbangkan eksistensi remaja itu,
  3. Kurangnya pemahaman spiritualisme dalam menghadapi kenyataan hidup berkaitan dengan situasi broken home,
  4. Kurangnya sosialisasi dari lingkungan sosialnya untuk memandang hal itu dari sisi positif, dan
  5.  Taraf perkembangan sosioemosional yang belum dewasa.
Freud dalam psikonalisis paradoksnya mengasumsikan bahwa konfliks sebagian besar hanya muncul dalam taraf ketidaksadaran individu. Meskipun sacara fisikal terlihat senyum, bukan berarti mood orang itu juga posiitif. Konfliks internal yang mungkin lebih parah akan muncul dan bermula dari ketidaksadarannya. Sifat inilah yang menentukan kesadaran manusia berkaitan dengan ego, ego ideal, superego, dan id-nya. Sistem ini akan berdinamika sesuai pengalaman. Faktor broken home dapat secara kuat menyebabkan perasaan subjektif akan cinta orangtua semakin berkurang atau mengarah pada hal negatif. Bukan tidak mungkin remaja dalam keluarga broken home akan menyalahkan atau memandang secara negatif terhadap salah satu orangtua atau bahkan kedua orangtuanya, jika orangtuanya itu dianggap penyebab penderitaan yang dirasakannya. Ini merupakan suatu bentuk kompensasi tak langsung atas asumsi subjektif diri remaja itu atas penderitaan yang seharusnya tidak ia dapatkan. Dalam teori klasik Sigmund Freud, hal ini menyebabkan pemasakan intrapsikis yang salah, dan dapat mengarah pada suatu bentuk patologis apabila tidak mendapatkan pemecahan masalah yang efektif.
Remaja dalam tahapan psikososial Erik H. Erickson disebutkan adalah masa pencarian identitas. Dalam tahapan ini, peran orangtua dalam membentuk identitas nampak jelas, apalagi bagi remaja putri (Margareth Rosario, 2007). Remaja putri dalam masa pencarian identitas dirinya sangat bergantung pada orangtuanya sebagai figur teladan, berbeda pada remaja putra yang lebih ditentukan oleh peer-group-nya. Fakta penelitian ini sudah seharusnya mempertimbangkan individual differences, yang menyadari bahwa itu semua bergantung dan khas pada tiap individu.
3. Peran Dukungan Sosial Terhadap Perkembangan Kepribadian Anak Pada Keluarga Broken Home
Dalam psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler (melalui Hall, 1993) disebutkan bahwa lingkungan sosial memainkan peran penting dalam perkembangan individu dalam rentang yang ada. Manusia pertama-tama dimotivasi oleh dorongan-dorongan sosialnya. Menurut Adler, pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam kegiatan sosial, dan sebagainya. Dorongan sosial Adler merupakan dorongan yang bersifat herediter atau bawaan genetis, yang kemudian mendapat stimulus-stimulus untuk perubahan perkembangannya dari lingkungan sosialnya. Adler mengatakan bahwa manusia adalah diri yang kreatif. Psikologi Individual Adler merupakan kombinasi sistem subjektif yang sangat dipersonalisasikan, yang menginterpretasikan pengalaman-pengalaman penuh arti. Sejalan dengan pandangan Soren Kierkegaard bahwa manusia adalah subjektif, sehingga kebenaran subjektif merupakan hal utama yang pertama.
Adler juga menambahkan bahwa diri mencari pengalaman-pengalaman yang membantu pemenuhan gaya hidup sang pribadi yang unik, apabila tak ditemukan, maka diri akan berusaha menciptakannya. Ini menjelaskan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi remaja dalam keluarga broken home. Dengan adanya dukungan sosial dari lingkungan sosialnya, maka pengalaman dalam hal problem solving masalah keluarga yang dihadapinya akan didapatkannya. Masih dalam hal dukungan sosial, intensi perilaku juga dipengaruhi oleh arah vektor kontinumnya. Arahnya ditentukan oleh masukan dari agen dukungan sosialnya. Agen yang tepat berarti agen tersebut dapat memberi masukan saran yang tepat bagi diri itu dan dapat mengarahkannya untuk menghambat lajunya masalah yang dihadapi agar tidak semakin memburuk.
Manusia sebagai diri, menurut Adler merupakan pribadi yang unik yang terdiri atas konfigurasi unik dari motif-motif, sifat-sifat, minat-minat, dan nilai-nilai, dimana setiap perbuatan yang dilakukan mencerminkan gaya hidup yang khas baginya. Manusia menjalani hidupnya dengan motivasi dorongan sosial. Hilangnya dorongan sosial dapat berakibat munculkan gangguan perkembangan atau gangguan psikis lainnya.
Adler juga menjelaskan bahwa manusia lebih didorong oleh harapan-harapan di masa depan daripada kenangan masa lalunya. Harapan yang pupus akibat broken home ini, membuat diri remaja itu berupaya untuk melakukan dinamika diri ke arah kemajuan. Lagi-lagi di sini nampak peran dukungan sosial dalam dinamika diri. Harapan yang pupus menyebabkan perilaku sekarang menjadi terhambat dengan adanya broken home. Hilangnya harapan ini akan mempengaruhi perilaku dalam parameter sejauhmana harapan itu menjadi prioritas hidupnya. Apabila itu sangat penting bagi dirinya, maka simtom negatif tertentu akan mungkin muncul, misalnya menjadi suka menyendiri, mudah tersinggung, dan sebagainya. Akan tetapi, Adler menyebutkan bahwa orang norma pasti dapat membebaskan diri dari harapan fiktif ini, sehingga diri terbebas dalam menghadapi kenyataan dari fiktif-fiktif ini. Apabila diri tidak demikian, maka gangguan psikis atau gangguan perkembangan akan muncul.
Adler menambahkan setiap diri memiliki kecenderungan untuk mengarah pada superioritas dengan tiga cirinya yaitu menjadi agresif, bekuasa, dan superior. Superior di sini bukanlah bersifat individualisme, melainkan sejalan dengan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow. Superioritas merupakan gejala adanya aktualisasi diri. Ini terjadi pada orang normal. Ketidakberdayaan fisik dan kelemahan yang tak nampak lainnya menjadi faktor pendukung munculnya perasaaan inferioritas. Pada remaja dalam keluarga broken homebroken home ini akan menjadi bahan bagi munculnya rasa inferior pada dirinya, tergantung sejauhmana masalahnya dirasakan membuat dirinya tak berdaya. Adakah kompensasinya? Adler menjawab bahwa dari adanya inferioritas itu muncullah kompensasi atas rasa inferior itu. Metode kompensasi ini diperoleh selama proses belajar sosialnya terhadap lingkungan, sedangkan pertimbangan untuk menggunakannya ditentukan secara subjektif oleh diri remaja itu. Kompensasi yang mungkin muncul adalah semakin melekatnya remaja itu dengan peer-group-nya, atau menjadi seorang penyendiri, dan peka perasaannya. Adler menyebutkan bahwa rasa inferior ini muncul bukan sebagai abnormal, melainkan sebagai bentuk penyempurnaan dalam perkembangan dirinya. Manifestasi atas perkembangan yang tak dapat dilakukan remaja mengakibatkan adanya gejala abnormalitas, misalnya gangguan penyesuaian.
Adler kemudian menekankan peranan dukungan sosial dalam perkembangan diri remaja yang mengalami broken home. Lingkungan sosial yang mendukung positif menjadi sumber inspirasi penting bagi individu, sehingga diri mampu mengembangkan dirinya ke arah kesempurnaan, yang menjadi tujuan perkembangan diri menurut Adler. Ketiadaan dukungan sosial yang memadai bagi diri menyebabkan semakin besarnya intensitas inferioritas yang dirasakannya, dan ini dapat mengarahkan pada gejala keabnormalitasan diri. Akan tetapi, Adler percaya bahwa tiap diri adalah kreatif untuk mencari alternatif penyelesaian bagi setiap masalah yang dihadapinya, sehingga apabila abnormalitas itu muncul, maka dapat disimpulkan bahwa stimulus broken home yang dirasakannya melebihi taraf intensitas kemampuannya dalam mereduksi masalah.
4. Dampak “Broken Home”Terhadap Perkembangan Psikologis Anak.
Dampak pada anak-anak pada masa ketidakharmonisan, belum sampai bercerai namun sudah mulai tidak harmonis:
  1. Anak mulai menderita kecemasan yang tinggi dan ketakutan.
  2. Anak merasa jerjepit di tengah-tengah, karena harus memilih antara ibu atau ayah
  3. Anak sering kali mempunyai rasa bersalah.
  4. Kalau kedua orang tuanya sedang bertengkar, itu memungkinkan anak bisa membenci salah satu orang tuanya.
Dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul 3 kategori anak.
1. Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali karena:
  1. Mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan mau melampiaskannya.
  2. Selain itu, anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena:
  • Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan.
  • Dia harus kehilangan hidup yang tenteram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya kok memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
  • Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan mama, itu berarti ada yang terhilang dalam diri anak yakni figur otoritas, figur ayah.
2. Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya.
5. Perkembangan Psikologis Anak Korban Perceraian.
Arti Keluarga Bagi Anak
Bagi anak keluarga sangatlah penting. Keluarga sebagai tempat untuk berlindung, dan memperoleh kasih sayang. Peran keluarga sangatlah penting untuk perkembangan anak pada masa-masa yang mendatang, baik secara psikologi maupun secara fisik. Tanpa keluarga anak akan merasa sendiri, dan tidak ada tempat untuk berlindung.
Ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam batin anak-anak. Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah:
  • Merasa tidak aman.
  • Merasa tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuannya yang pergi.
  • Marah Sedih dan kesepian.
  • Merasa kehilangan, merasa sendiri, menyalahkan diri sendiri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.
  • Merasa seharusnya dari dulu orangtua mereka tidak bersama, agar dia tidak ada dan tidak merasakan perceraian orangtuanya.
Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan dekat dengan orang lain saat dewasa nanti. Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orang tua, dapat menerima rasa kehilangan, tidak marah pada orang tua dan tidak menyalahkan diri sendiri, menjadi dirinya sendiri.
6. Cara Membangkitkan Motivasi dan Harapan Anak Korban Perceraian.
Bagi anak-anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan mengalami sebuah perceraian dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan, dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orangtuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok, dan jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut.  Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti ketika belum ada perceraian.
7.  Peran Orang Tua Terhadap Perkembangan Psikologi Anak.
Perceraian selalu berdampak buruk dan terasa amat pahit bagi anak-anak. Dan ini jelas menorehkan perasaan sedih serta takut pada diri anak. Sehingga, ia akan tumbuh dengan jiwa yang tidak sehat. Berikut ini beberapa saran untuk mengatasi kesedihan anak dalam melewati proses perceraian orang tuanya:
  • Dukung anak Anda untuk mengungkapkan perasaan mereka, baik yang positif maupun negatif, mengenai apa yang sudah terjadi. Sangatlah penting bagi orang tua yang akan bercerai ataupun yang sudah bercerai untuk memberi dukungan kepada anak-anak mereka serta mendukung mereka untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Dalam hal ini Anda tidak boleh melibatkan perasaan Anda. Seringkali terjadi, perasaan akan kehilangan salah satu orang tua akibat perceraian menyebabkan anak-anak menyalahkan salah satu dari kedua orang tuanya (atau kedua-duanya) dan mereka merasa dikhianati. Jadi, anda harus betul-betul siap untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan diajukan anak anda atau keprihatinan yang mereka miliki.
  • Beri kesempatan pada anak untuk membicarakan mengenai perceraian dan bagaimana perceraian tersebut berpengaruh pada dirinya. Anak-anak yang usianya lebih besar, tanpa terduga, bisa mengajukan pertanyaan dan keprihatinan yang berbeda, yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehnya. Meski mengejutkan dan terasa menyudutkan, tetaplah bersikap terbuka.
  • Bila Anda merasa tidak sanggup membantu anak, minta orang lain melakukannya. Misalnya, sanak keluarga yang dekat dengan si anak.
  • Sangatlah wajar bagi anak-anak jika memiliki berbagai macam emosi dan reaksi terhadap perceraian orang tuanya. Bisa saja mereka merasa bersalah dan menduga-duga, merekalah penyebab dari perceraian. Anak-anak marah dan merasa ketakutan. Mereka khawatir akan ditelantarkan oleh orang tua yang bercerai.
  • Ada anak-anak yang sanggup untuk menyuarakan perasaan mereka, dan ada juga yang tidak. Hal ini tergantung dari usia dan perkembangan mereka. Untuk anak-anak usia sekolah, jelas sekali perceraian mengakibatkan turunnya nilai pelajaran mereka di sekolah. Walaupun untuk beberapa lama anak-anak akan berusaha mati-matian menghadapi perceraian orang tuanya, pengaruh nyata dari perceraian biasanya dirasakan anak berusia 2 tahun ke atas.
  • Jangan menjelek-jelekan mantan pasangan di depan anak walaupun Anda masih marah atau bermusuhan dengan bekas suami. Hal ini merupakan salah satu yang sulit untuk dilakukan tapi Anda harus berusaha keras untuk mencobanya. Jika hal itu terus saja Anda lakukan, anak akan merasa, ayah atau ibunya jahat, pengkhianat, atau pembohong. Nah, pada anak tertentu, hal itu akan menyebabkan ia jadi dendam dan bahkan bisa trauma untuk menikah karena takut diperlakukan serupa.
  • Anak-anak tidak perlu merasa mereka harus bertindak sebagai "penyambung lidah" bagi kedua orang tuanya. Misalnya, Anda berujar, "Bilang, tuh, sama ayahmu, kamu sudah harus bayaran uang sekolah."
  • Minta dukungan dari sanak keluarga dan teman-teman dekat. Orang tua tunggal memerlukan dukungan. Dukungan dari keluarga, sahabat, atau pemuka agama, yang dapat membantu Anda dan anak Anda untuk menyesuaikan diri dengan perpisahan dan perceraian. Hal lain yang juga dapat menolong adalah memberi kesempatan kepada anak-anak untuk bertemu dengan orang lain yang telah berhasil melewati masa-masa perceraian dengan baik.
  • Bilamana mungkin, dukung anak-anak agar memiliki pandangan yang positif terhadap kedua orang tuanya. Walaupun pada situasi yang baik, perpisahan dan perceraian dapat sangat menyakitkan dan mengecewakan bagi kebanyakan anak-anak. Dan tentu saja secara emosional juga sulit bagi para orang tua.

8. Persiapan Orang Tua Kaitannya dengan Kondisi Psikologis Anak Sebelum Memutuskan untuk Bercerai.
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing anak, tetapi sebagai orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini adalah beberapa saran yang sebaiknya dilakukan orangtua agar anak sukses beradaptasi, jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan:
  • Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama Mama dan Papa, tapi hanya dengan salah satunya.
  • Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika harus pindah rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya.
  • Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.
  • Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
  • Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukanlah salah si anak. Agar si anak tidak merasa bersalah akan terjadinya perceraian yang di alami orangtuanya
  • Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung, menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya.
  • Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal bersama si anak, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu.
  • Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
  • Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan inginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi.
  • Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak. Karena anak akan merasa, ayah atau ibunya jahat, pengkhianat, atau pembohong. Nah, pada anak tertentu, hal itu akan menyebabkan ia jadi dendam dan bahkan bisa trauma untuk menikah karena takut diperlakukan serupa.
  • Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik.
  • Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam.
  • Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan. Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponlah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Karena itu dalam mempersiapkan perceraian, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan terutama tentang psikologi anak. Satu diantaranya adalah menjelaskan alasan dari perceraian itu sendiri. Intinya, anak ingin sesuatu yang pasti. Kalau perceraian memang tidak bisa dihindari, orang tua harus menjelaskan kepada anak. Kumpulkan antara anak, ayah, dan ibu. Orang tua di sini harus menjelaskan keputusan mereka, Kalau orang tua menghadapi anak balita, jelaskan dengan bahasa yang harus bisa dimengerti oleh mereka. Jelaskan juga bahwasanya meski bercerai, kasih sayang kedua orang tua tidak akan putus. Kedua belah pihak juga menjelaskan tentang materi yang akan tetap diberikan kepada anak. Jangan juga memberi harapan palsu kepada anak. Harapan palsu di sini maksudnya adalah berjanji bahwasanya kedua orang tua mungkin suatu saat akan kembali hidup bersama. Jika janji ini sampai diucapkan, anak akan terus mengingatnya. Masalah perceraian yang sedang dihadapi oleh orang tua tentunya juga akan membuat anak terus memikirkan kondisi yang sedang menimpa kedua orang tuanya. Jangankan anak yang masih usia kecil, mereka yang sudah usia besar pun ada juga yang akan mencetuskan pemikiran bahwasanya perceraian itu adalah karena kesalahan mereka. Orang tua harus menerangkan kepada anak bahwasanya ini bukan kesalahan mereka. Ini untuk menghindari perasaan terpukul dari anak.
Agar anak tidak terus menerus merasa bersalah, tetap berikan perhatian yang tidak berubah dari kedua belah pihak orang tua. Intinya biar bagaimanapun, dalam kasus perceraian, orang tua harus ingat bagaimana perasaan dan kepentingan anak. Jadi sebelum kata cerai, pikirkan dahulu apa yang lebih baik dan buruk apa yang akan terjadi. Orang tua juga harus tetap menguasai emosi, perasaan, maupun pikiran. Meski telah berpisah bukan berarti anak hanya boleh memilih satu orang tua dan mencurahkan serta menerima kasih sayang dari satu orang tua juga. Bagaimanapun anak butuh ayah dan ibu. Jangan putuskan hubungan anak dengan orang tua yang satunya. Di sini, butuh pula kepekaan orang tua untuk mengerti apa yang dibutuhkan anak akan perasaannya. Orang tua yang memiliki hak asuh anak boleh memberitahukan tentang pasangannya namun bukan berarti menjelek-jelekkannya. Kalau kita memburuk-burukkan mantan pasangan kita, anak jadi ada dalam posisi dituntut untuk memilih. Biarkan mereka melihat dan tahu sendiri sehingga bisa mengambil keputusan sendiri.
BAB III
Kesimpulan
Keluarga sangatlah penting bagi perkembangan anak pada masa-masa yang mendatang, baik secara psikologis maupun secara fisik. Selain itu keluarga juga sebagai tempat untuk berlindung, dan memperoleh kasih sayang. Namun, bagaimana jika peran keluarga sebagai pelindung, dan tempat memperoleh kasih sayang itu tidak berfungsi dengan sebagaimana mestinya? Tanpa keluarga anak akan merasa sendiri, dan tidak ada tempat untuk berlindung. Kemana mereka harus pergi jika tempat perlindungan saja mereka tidak punya? Apa mereka harus mencari perlindungan dijalan? Tidak! Anak adalah generasi penerus yang seharusnya di jaga dengan baik, oleh karena itu orang tua harus menjaga anak-anak mereka sebagaimana mestinya peran orangtua. Dan perceraian bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah. Perceraian adalah penerus masalah selanjutnya. Orangtua harus memilih antara ego mereka masing-masing atau masa depan anak mereka.
BAB IV
Solusi
Solusi dari kasus perceraian yang berpengaruh besar terhadap psikologi anak, seharusnya pihak orang tua dapat mempertimbangkan kembali untuk mengambil keputusan untuk melakukan perceraian, mereka harus memilih antara mengikuti ego mereka untuk bercerai atau menjaga psikologi anak yang akan ditimbulkan akibat perceraian tersebut, apabila perceraian memang jalan yang seharusnya diambil, maka diperlukan peran orang tua yang harus bisa menyikapi atau mengambil alih serta mengawasi anak, agar terhindar dari segala kegiatan yang bisa merusak masa depan anak, dan perbanyaklah kegiatan yang positif agar dapat mengembangkan potensi anak dan berikan pengarahan ketika anak dewasa, jangan sampai perceraian itu terjadi di kehidupannya kelak, dan berikan pengalaman.

Sumber :